Walisongo (Sembilan Wali)
yang dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka
tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat. Kawasan ini adalah laluan perjalanan dari Surabaya ke
Pati-Demak-Kudus-Malang-Surabaya.
Walisongo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Pulau Jawa. Peranan mereka sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga mempengaruhi kebudayaan masyarakat serta dakwah.
Walisongo berarti sembilan orang wali. Mereka adalah:
1. Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel
3. Sunan Giri
4. Sunan Bonang
5. Sunan Dradjad
6. Sunan Kalijaga
7. Sunan Kudus
8. Sunan Muria
9. Sunan Gunung Jati
Kesemua wali ini tidak hidup dalam waktu yang sama
tetapi mereka mempunyai kaitan rapat seperti hubungan darah dan juga
diantaranya adalah mempunyai hubungan guru dan murid.
Maulana Malik Ibrahim adalah yang tertua. Beliau
mempunyai anak yang dikenali sebagai Sunan Ampel. Sunan Giri pula adalah anak
saudara Maulana Malik Ibrahim yang bererti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan
Bonang dan Sunan Drajad adalah anak kepada Sunan Ampel. Sunan Kalijaga pula merupakan
sahabat dan juga murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan anak Sunan Kalijaga.
Sunan Kudus juga murid kepada Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat
para Sunan-Sunan yang lain kecuali Maulana Malik Ibrahim yang terlebih dahulu
meninggal dunia. Kesemua mereka tinggal di pantai utara Pulau Jawa dari awal
abad 15 hingga pertengahan abad 16 iaitu di tiga wilayah penting
(Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah serta
Cirebon di Jawa Barat). Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu
masyarakat pada zamannya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru
seperti dalam bentuk kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan dan
kesenian, kemasyarakatan sehingga kepada pemerintahan. Pesantren Ampel Denta
dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri,
peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama tetapi ia juga merupakan pemimpin
pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah penyumbang karya
seni yang pengaruhnya masih terasa hingga ke hari ini. Sementara Sunan Muria
adalah pemimpin agama yang sangat rapat dengan rakyat jelata.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia terutama di Pulau Jawa.
Mereka mempunyai peranan penting seperti Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan
diri sebagai "tabib" bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang
dianggap oleh kolonialis sebagai "paus dari Timur" serta Sunan
Kalijaga telah mencipta karya kesenian dengan menggunakan gaya dan cara yang
dapat difahami oleh masyarakat Jawa dengan tidak meninggalkan kebudayaan Hindu
dan Budha.
Beberapa catatan mengenai kesemua wali ini adalah
sebagaimana berikut:-
1. Maulana Malik Ibrahim:
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim
As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal
abad 14. Beliau meninggal dunia pada tahun 1419. Dikenali juga sebagai Syekh
Magribi. "Kakek Bantal" adalah juga sebutan oleh penduduk Jawa. Ia
bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai yang juga
merupakan ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari
seorang ulama Persia bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand.
Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein
iaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Selama tiga belas tahun sejak tahun 1379 Maulana
Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa atau sekarang dikenali Kamboja
(Cambodia). Ia mempunyai seorang isteri dari putri raja dan mendapat dua orang
anak iaitu Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha
atau Raden Santri.
Pada tahun 1392 iaitu setelah merasakan puas berdakwah
di Kambodia, Maulana Malik Ibrahim berhijrah ke Pulau Jawa meninggalkan dengan
meninggalkan keluarganya. Terdapat beberapa versi yang menyatakan bahwa
kedatangannya disertai oleh beberapa orang. Daerah yang dituju bagi pertama
kali adalah Desa Sembalo, sebuah daerah yang masih berada dalam wilayah
kekuasaan kerajaan Majapahit. Desa Sembalo kini adalah daerah Leran kecamatan
Manyar iaitu sejauh 9 kilometer ke utara kota Gresik. Kegiatan pertama yang
dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu
menyediakan keperluan harian dengan harga yang murah. Selain itu, beliau juga
menyediakan diri untuk mengobati pesakit yang memerlukan bantuan secara
percuma. Sebagai seorang tabib, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja
yang berasal dari Campa. Kemungkinan juga permaisuri tersebut masih bersaudara
kepada istrinya. Selain itu, beliau yang juga dikenali sebagai Kakek Bantal
telah mengajar cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawahan
iaitu satu kasta yang disisihkan dalam masyarakat dan budaya Hindu. Misi
pertama beliau sangat berjaya untuk mencari tempat di hati masyarakat yang
ketika itu dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Sebelum meninggal dunia
pada tahun 1419, Maulana Malik Ibrahim sempat mendirikan tempat untuk
pembelajaran agama di Leran. Jenazahnya dimakamkan di Desa Gapura, Gresik, Jawa
Timur.
2. Sunan Ampel:
Sunan Ampel adalah anak sulung Maulana Malik Ibrahim.
Nama asalnya adalah Raden Rahmat dan dilahirkan di Campa pada 1401 Masehi. Di
daerah Ampel atau Ampel Denta, Surabaya (kota Wonokromo sekarang) adalah
tempatnya bermukim dan menyibarkan agama Islam. Sunan Ampel datang ke Pulau
Jawa pada tahun 1443 bersama adiknya iatu Sayid Ali Murtadho. Sebelum ke Jawa
pada tahun 1440, mereka singgah dahulu di Palembang. Setelah tiga tahun di
Palembang, mereka melabuh dan berhijrah ke daerah Gresik. Seterusnya mereka ke
Majapahit untuk menemui ibu saudaranya, seorang putri dari Campa yang bernama
Dwarawati. Ibu saudaranya ini telah dipersunting oleh salah seorang raja
Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya. Sunan Ampel menikah
dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikurniakan
beberapa orang anak lelaki dan perempuan. Diantaranya yang menjadi penerus
tugas-tugas dakwah adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajad. Ketika Kesultanan
Demak iaitu 25 kilometer arah selatan kota Kudus hendak didirikan, Sunan Ampel
turut bersama mendirikan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Pada tahun 1475,
Sunan Ampel telah mengesyurkan supaya Raden Fatah iaitu anak lelaki Prabu
Brawijaya V (Raja Majapahit) untuk menjadi Sultan Demak.
Di Ampel Denta, daerah yang dihadiahkan oleh Raja
Majapahit, ia membangun dan mengembangkan pondok pesantren. Pada pertengahan
Abad 15, pesantren tersebut menjadi pusat pendidikan yang sangat berpengaruh di
Nusantara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Fatah. Para
santri tersebut kemudian berdakwah ke berbagai pelosok di Pulau Jawa dan
Madura. Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya,
ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan akidah dan ibadah.
Beliaulah yang mengenalkan istilah "Moh Limo" iaitu satu istilah
dalam bahasa Jawa yang dimaksudkan sebagai "Tidak Mahu Lima Perkara"
iaitu moh main (tidak bermain judi), moh ngombe (tidak meminum minuman keras),
moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengguna dadah dan narkotik) dan
moh madon (tidak berzina). Sunan Ampel meninggal dunia dan disemadikan di sebelah
barat Masjid Ampel, Surabaya pada tahun 1481.
3. Sunan Giri:
Sunan Giri lahir di Blambangan pada tahun 1442.
Memiliki beberapa nama panggilan iaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri,
Kebomas, Gresik.
Terdapat beberapa silsilah Sunan Giri yang berbeza.
Ada pendapat mengatakan ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang
datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi
Sekardadu, iaitu putri dari Menak Sembuyu, penguasa wilayah Blambangan pada
masa-masa akhir kekuasaan Majapahit. Pendapat lainnya menyatakan bahwa Sunan
Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW iaitu melalui keturunan Husain bin
Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi,
Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat)
Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut
adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur dan catatan nasab
Sa'adah BaAlawi Hadramaut. Sunan Giri merupakan anak dari Maulana Ishaq,
seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun
kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabak penyakit di wilayah
tersebut. Ia dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu dengan
menghanyutkannya ke laut. Kemudiannya, bayi tersebut dijumpai oleh sekelompok
awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang
saudagar perempuan pemilik kapal iaitu Nyai Gede Pinatih dan dinamakan bayi
tersebut sebagai Joko Samudra. Ketika dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke
Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Apabila Sunan Ampel mengetahui
latar belakang murid kesayangannya ini maka ia dihantar kepada Makdhum Ibrahim
(Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh
Maulana Ishaq yang tidak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko
Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal usul dan alasan
mengapa dia dulu dibuang. Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku
atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian
mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti,
Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal
masyarakat dengan sebutan Sunan Giri. Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal
sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus
berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang
menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang
sering dianggap mempunyai hubungkait dengan Sunan Giri, diantaranya adalah
permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng serta
beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.
4. Sunan Bonang:
Beliau adalah anak Sunan Ampel yang juga cucu Maulana
Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada tahun
1465. Ibunya bernama Nyi Ageng Manila, seorang puteri adipati di Tuban. Sunan
Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia
berdakwah di Kediri, yang majoriti masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia
mendirikan Masjid Sangkal Daha. Ia kemudian menetap di Bonang, di sebuah desa
kecil di Lasem, Jawa Tengah sejauh 15 kilometer ke timur kota Rembang. Di desa
itu ia membangun tempat pesujudan, zawiyah atau pesantren yang kini dikenali
dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian,
Sunan Bonang tidak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke
daerah-daerah terpencil dan sukar untuk didakwahkan seperti di Tuban, Pati,
Madura dan sehingga ke Pulau Bawean. Pada tahun 1525 beliau meninggal dunia di
Pulau Bawean. Jenazahnya dimakamkan di Tuban iaitu di sebelah barat Masjid
Agung. Sebelumnya, masyarakat Bawean dan Tuban telah berebutan jenazah. Sunan
Bonang tidak seperti Sunan Giri yang memfokuskan fikih, ajaran Sunan Bonang
memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tassauf dan garis salaf ortodoks. Ia
menguasai ilmu fikih, usuludin, tassauf, seni, sastra dan arkitektur.
Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang yang mahir mencari sumber
air di tempat-tempat gersang. Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafah
'cinta' ('isyq). Ia sangat mirip dengan kecenderungan Jalalludin Rumi. Mengikut
Sunan Bonang, cinta bersama iman, pengetahuan intuitif iaitu makrifat dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya
secara popular melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini,
Sunan Bonang bekerjasama dan bersama dengan Sunan Kalijaga iaitu murid
kesayangannya. Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk atau tembang
tamsil. Salah satunya adalah "Suluk Wijil" yang banyak dipengaruhi
kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak
menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut. Sebuah pendekatan yang juga
digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri. Sunan
Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi gaya dan nafas baru. Dialah yang menjadi pencipta gamelan Jawa
seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu
memiliki dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan alam malakut. Salah
satu karya Sunan Bonang adalah "Tombo Ati". Dalam pentas wayang
kulit, Sunan Bonang adalah dalang yang sangat digemari penontonnya. Kegemarannya
adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah
perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan oleh Sunan Bonang sebagai peperangan
antara penafian dan 'isbah atau peneguhan iman.
5. Sunan Drajad:
Sunan Drajat dilahirkan pada tahun 1470. Namanya semasa
kecil adalah Raden Qasim, kemudiannya digelar Raden Syarifudin. Dia yang
terkenal dengan kecerdasannya adalah anak dari Sunan Ampel dan bersaudara
dengan Sunan Bonang. Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa
Drajat, Paciran, Lamongan.
Setelah menguasai pelajaran dalam bidang agama islam,
beliau menyebarkannya di desa Drajad di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan
oleh kerajaan Demak. Ia digelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun
1442/1520 masehi. Makam Sunan Drajat boleh ditemui atau dilawati dari Surabaya
ataupun Tuban melalui Jalan Dandeles (Anyer - Panarukan), dan boleh juga
melalui Lamongan.
Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau mengambil
tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Daerah Tingkat II
Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Beliau menguasai kerajaan Demak
selama 36 tahun.
Sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal, beliau
sangat perihatin dengan rakyat miskin dengan terlebih dahulu mengusahakan
kesejahteraan sosial dan seterusnya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam.
Motivasinya lebih ditekankan pada etos kerja keras, menderma dan sedekah bagi
membenteras kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usahanya kearah itu menjadi
lebih mudah kerana Sunan Drajat memperoleh kekuasaan untuk mengatur wilayahnya
yang mempunyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas segala usaha dan kejayaannya
menyebarkan agama Islam dan usahanya membasmi kemiskinan dengan menciptakan
kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau diberi gelaran Sunan Mayang Madu
dari Raden Patah, Sultan Demak I pada tahun 1442 atau 1520 Masehi.
6. Sunan Kalijaga:
Sunan Kalijaga adalah "wali" yang paling
banyak disebut oleh masyarakat Jawa. Dilahirkan pada tahun 1450 dari bapanya
yang bernama Arya Wilatikta iaitu Adipati Tuban berketurunan dari tokoh
pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Ketika itu Arya Wilatikta telah menganut
agama Islam. Nama semasa kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga
memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban
atau Raden Abdurrahman. Terdapat berbagai versi mengenai asal-usul nama
Kalijaga yang digunakannya. Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah bermukim
di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam di sungai (kali) atau
"jaga kali". Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa
Arab "qadli dzaqa" yang menunjukkan statusnya sebagai "penghulu
suci" kesultanan. Semasa hidupnya Sunan Kalijaga mencapai umur lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit yang
berakhir pada tahun 1478, Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten,
bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan
Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang
pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama
masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga. Dalam dakwah, ia mempunyai pola yang sama
dengan Sunan Bonang, mentor yang juga sahabat karibnya. Fahaman keagamaannya
cenderung kepada "sufistik salaf" dan bukan sufi panteistik iaitu
pemujaan semata. Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai cara untuk
berdakwah dan sangat bersesuaian dengan budaya tempatan. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauhkan diri jika diserang dengan pendirian dan pegangannya.
Maka mereka harus didekati secara beransur-ansur iaitu mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah difahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Maka ajaran Sunan Kalijaga sangat
berkesan. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk
sebagai cara berdakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg
maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota
berupa Kraton dan masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. Cara berdakwah
tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui
Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen,
Banyumas, serta Pajang (sekarang dikenali Kotagede Yogya). Jenazah Sunan
Kalijaga dimakamkan di Kadilangu iaitu di selatan Demak.
7. Sunan Gunung Jati:
Sunan Gunong Jati dilahirkan pada tahun 1448. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang iaitu putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rarasa.
Ayahnya pula adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
berketurunan Bani Hasyim dari Palestin. Syarif Hidayatullah mendalami ilmu
agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke
berbagai negara. Setelah berdirinya Kesultanan Bintoro di Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati. Begitupun banyak kisah yang tidak munasabah yang telah
dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah
mengalami perjalanan spiritual seperti Isra' Mi'raj dan bertemu dengan
Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. Semuanya
hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya "wali
songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati menggunakan
pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan agama Islam dari
pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan. Dalam berdakwah, ia
menganut kecenderungan Timur Tengah. Namun ia juga mendekati rakyat dengan
membangunkan infrastruktur seperti jalan-jalan yang menghubungkan antara
wilayah. Bersama dengan anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung
Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Beliau diterima sebagai bakal
Kesultanan Banten. Sebaliknya pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati
mengundurkan diri dari jawatan yang dipegangnya dan hanya ingin meneruskan
dakwah sahaja. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun
1568 Sunan Gunung Jati meninggal dunia di Cirebon pada usia 120 tahun. Ia
dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, 15 kilometer sebelum memasuki
kota Cirebon dari arah barat.
8. Sunan Kudus:
Namanya senasa kecil adalah Jaffar Shadiq. Beliau
adalah anak dari pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah iaitu adik Sunan Bonang,
anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang
putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia
pun diangkat menjadi Panglima Perang. Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan
Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah
seperti Sragen, Simo hingga ke Gunung Kidul. Cara berdakwahnya juga meniru
pendekatan Sunan Kalijaga yang sangat toleran pada budaya setempat. Cuma cara
penyampaiannya lebih halus. Inilah yang menyebabkan para wali yang lain meminta
beliau berdakwah ke Kudus yang dikatakan sangat sukar untuk ditembusi. Gaya dan
caraa Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan
simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal ini dapat dilihat dari arkituktur masjid
Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran untuk berwudhu yang melambangkan
delapan jalan Budha iaitu satu pendekatan dan kompromi oleh Sunan Kudus. Suatu
ketika ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan dakwahnya
dengan cara ia sengaja menambatkan lembunya yang diberi nama Kebo Gumarang di
halaman masjid. Penganut Hindu sangat mengagungkan lembu, menjadi simpati.
Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat
Al-Baqarah yang bererti "Lembu Betina". Sehingga kini, sebahagian
masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih lembu. Sunan
Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara
bersiri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kisah selanjutnya. Inilah
satu pendekatan yang nampaknya seperti memasukkan cerita 1001 malam dari
Khalifah Abbasiyah. Begitulah cara Sunan Kudus mengikat masyarakat. Sebagaimana
ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut sama
berperang di Demak diantara Sultan Prawata melawan Adipati Jipang iaitu Arya
Penangsang.
9. Sunan Muria:
Sunan Muria adalah anak kepada Dewi Saroh iaitu adik
kandung Sunan Giri yang juga merupakan anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan
Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat
tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria iaitu 18 kilometer ke utara kota
Kudus. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya iaitu Sunan Kalijaga.
Begitupun, perbezaan dengan ayahnya adalah Sunan Muria lebih suka tinggal di
daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Beliau bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan cara bercocok tanam,
berdagang dan menjadi nelayan adalah kesukaannya. Sunan Muria seringkali
dijadikan pula sebagai orang tengah dalam sebarang konflik di Kesultanan Demak
(1518-1530), Ia sangat dikenali dengan mempunyai kepribadian yang mampu
memecahkan berbagai masalah walaupun ia sangat rumit. unan Muria berdakwah dari
Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya
adalah melalui seni iaitu dari lagu Sinom dan Kinanti .
0 komentar:
Posting Komentar